Rabu, 20 April 2011

MIMPI DAN REALITA

Mimpi & Realita



MotivasiHidup.Tk - Dua hal yang sangat berbeda namun keduanya bukan merupakan hal yang terpisahkan..
Mungkin seseorang berpikir bahwa mimpi itu hanyalah suatu khayalan di dalam diri..
Dan sebuah fantasi yang menyenangkan bagi pikirannya..

Namun mimpi adalah awal dari suatu keinginan yang pasti..
Yang dapat merubah hidupmu untuk selamanya..
Tanpa mimpi..kau tidak akan mempunyai keinginan untuk merubah keadaan..
Tanpa mimpi..kau tidak akan mempunyai tujuan yang pasti di dalam hidupmu..

Mimpi adalah keinginanmu yang terpendam..
Mimpi adalah awal dari keinginanmu untuk bertindak..
Mimpi adalah suatu hal yang mampu untuk merubah keadaan..
Dan satu hal yang pasti..
Mimpimu dapat menjelma menjadi realita...

Namun untuk merubah mimpimu menjadi realita..
Ada jembatan yang harus kau lalui..
Jembatan itu adalah kemauan keras dari dirimu..
Kemauan keras yang tidak akan goyah..
Sekeras apapun angin bertiup dan badai menghadang..
Sederas apapun hujan yang tercurah dari langit..
Dan sekuat apapun gelombang pasang yang menghadang..
Semua itu tidak akan menggoyahkanmu..
Apabila kau mau untuk melewati jembatan itu..

Untuk merubah mimpimu menjadi realita..
Kau harus membayar harganya..
Kau harus berani untuk bertindak..
Dan kau harus siap tercabik-cabik dari duniamu yang selama ini kau nikmati..

Mungkin kau berpikir..
Hanya dengan sedikit tindakan dan keinginan di mulutmu..
Kau sanggup mewujudkan mimpimu..
Namun sesungguhnya hal itu adalah suatu kesalahan..
Karena tanpa melewati jembatan dan membayar harganya..
Kau tak akan mampu mengubah mimpimu menjadi realita..

Jika kau hanya berkata di mulutmu..
Namun kau tidak berani untuk bertindak dan membayar harganya..
Ketahuilah..
Mimpimu akan tetap menjadi harapan kosong..
Dan jalanmu akan tetap hampa untuk selamanya..
Karena jembatan yang harus kau lalui..
Dan harga yang harus kau bayar..
Adalah penghubung antara mimpi dan realita yang ada..
Yang sanggup untuk merubah segalanya..
Dan sanggup menjadikanmu menjadi pribadi yang lebih kuat..

Jembatan penghubung yang adalah kemauan keras dari dirimu..
Adalah hal yang harus kau lalui..
Dan tidak dapat kau hindari..
Memang untuk melewati jembatan itu..
Pastilah kau akan membayar harga yang mahal di dalam hidupmu..

Namun ketahuilah..
Ketika kau mau untuk melewati jembatan itu dengan sungguh-sungguh tanpa mengeluh..
Kau siap untuk merubah mimpimu menjadi realita yang akan mengubah hidupmu untuk selamanya..

KATEGORI UNSUR SEGMENTAL

Berdasarkan kategori unsur segmental yang menjadi predikatnya dapat di bedakan: klausa verbal (klausa yang predikatnya berkategori verba). Sesuai dengan adanya tipe verba, dikenal adanya (1) klausa transitif (klausa yang predikatnya berupa verba transitif); (2) klausa intransitif (klausa yang predikatnya berupa verba intransitif); (3) klausa refleksif (klausa yang predikatnya berupa verba refleksif); (4) klausa resiprokal (klausa yang predikatnya berupa verba resiprokal. Klausa nominal (klausa yang predikatnya berupa nomina atau frase nominal). Klausa ajektifal (klausa yang predikatnya berkategori ajektifa, baik berupa kata maupun frase). Klausa adverbial (klausa yang predikatnya berupa frase yang berkategori preposisi). Klausa numeral (klausa yang predikatnya berupa kata atau frase numeralia).
Kalimat Mayor dan Kalimat Minor
Kalimat mayor mempunyai klausa lengkap, sekurang-kurangnya ada unsur subjek dan predikat. Sedangkan kalimat minor klausanya tidak lengkap, entah hanya terdiri subjek saja, predikat saja, objek saja, atau keterangan saja; konteksnya bisa berupa konteks kalimat, konteks situasi, atau juga topik pembicaraan.
Kalimat Verbal dan Kalimat non-Verbal
Kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau kalimat yang predikatnya berupa kata atau frase berkategori verba. Sedangkan kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan kata atau frase verbal; bisa nominal, ajektifal, adverbial, atau juga numeralia.
Berkenaan dengan banyaknya jenis atau tipe verbal, biasanya dibedakan: (1) kalimat transitif adalah kalimat yang predikatnya berupa verba transitif, yaitu verba yang biasanya diikuti oleh sebuah objek kalau verba tersebut bersifat monotrasitif, dan diikuti oleh dua buah objek kalau verba tersebut bersifat bitransitif. (2) kalimat intransitif adalah kalimat yang predikatnya berupa verba intransitif, yaitu verba yang tidak memiliki objek. (3) kalimat aktif adalah kalimat yang predikatnya kata kerja aktif. Verba aktif biasanya ditandai dengan prefiks me- atau memper- biasanya dipertentangkan degan kalimat pasif yang ditandai dengan prefiks di- atau diper- . Ada juga istilah kalimat aktif anti pasif dan kalimat pasif anti aktif sehubungan dengan adanya sejumlah verba aktif yang tidak dapat dipasifkan dan verba pasif yang tidak dapat dijadikan verba aktif (4) kalimat dinamis adalah kalimat yang predikatnya berupa verba yang secara semantis menyatakan tindakan atau gerakan. (5) kalimat statis adalah kalimat yang predikatnya berupa verba yang secara semantis tidak menyatakan tindakan atau kegiatan. (6) kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan verba.
Kalimat Bebas dan Kalimat Terikat :
Kalimat bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap, atau dapat memulai sebuah paragraf atau wacana tanpa bantuan kalimat atau konteks lain yang menjelaskannya. Sedangkan kalimat terikat adalah kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai ujaran yang lengkap, atau menjadi pembuka paragraf atau wacana tanpa bantuan konteks. Biasanya kalimat terikat menggunakan salah satu tanda ketergantungan, seperti penanda rangkaian, penunjukan, dan penanda anaforis.
Intonasi Kalimat
Intonasi merupakan ciri utama yang membedakan kalimat dari sebuah klausa, sebab bisa dikatakan: kalimat minus intonasi sama dengan klausa; atau kalau dibalik; klausa plus intonasi sama dengan kalimat. Jadi, kalau intonasi dari sebuah kalimat ditanggalkan maka sisanya yang tinggal adalah klausa.

MENGENAL KALIMAT EFEKTIF

MENGENAL KALIMAT EFEKTIF
Oleh: Jandrewico Simamora

Pernahkah di antara kalian ada yang tidak memahami penjelasan Bapak/Ibu guru ketika mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas? Pernahkah di antara pembaca yang tidak memahami sambutan Bapak RT dalam sebuah pertemuan? Kalau ya, itu disebabkan kalimat yang digunakan Bapak/Ibu guru kalian dan yang disampaikan pak RT tidak efektif. Lalu, bagaimanakah kalimat efektif itu? Bagaimanakah pula contohnya?
Kalimat efektif adalah kalimat yang mampu menggambarkan secara lengkap dan tepat apa yang dimaksud oleh penutur kepada petutur. Secara tertulis, kalimat efektif ditandai dengan huruf besar di awal kalimat, dan di akhir kalimat ditandai dengan tanda titik, tanda seru, atau tanda tanya, di antara klausa kadang kala terdapat tanda koma, titik dua, tanda petik, dan sebagainya. Dalam bahasa lisan, kalimat diakhir dengan intonasi menurun pada kalimat berita, naik pada kalimat perintah langsung, dan panjang mendatar pada kalimat tanya.
Ciri-ciri Kalimat Efektif

a. Keutuhan : dalam bahasa tulis, ada unsur subjek dan predikat (gramatikal) pada kalimat intransitif, dan unsur subjek, predikat, objek pada kalimat transitif,
b. Pertautan : adanya hubungan yang erat antarunsur-unsur kalimat dan logis,
c. Keringkasan: menggunakan kata-kata yang benar-benar memiliki fungsi (diksi).
d. Ketepatan diksi: menggunakan kata yang tepat, sesuai, dan lazim.

Marilah kita perhatikan kalimat berikut!
a. Sebagaimana telah ditetapkan, para pengawas itu biasanya dilakukan dua kali seminggu.
b. Aspek yang lain yang perlu dipertimbangkan ialah segi hubungan masyarakat.
c. Secara jasmaniah orang itu bertubuh sehat dan kuat.
d. Saya sudah bilang bahwa kamu bisa mengerjakan soal itu.
e. Karena Anda tidak menuruti perintah saya di mana kamu tidak boleh mencontek, nilai kamu akan saya kurangi.
f. Saya ingin tetap menjadi juara. Dan saya harus selalu belajar dengan rutin.

Penjelasan
Kalimat (a) merupakan kalimat yang tidak jelas maknannya. Ketidakjelasan kalimat tersebut diakibatkan adanya unsur yang hilang sehingga mengganggu keutuhan kalimat. Apa yang dilakukan pengawas selama satu minggu? Selain itu, dalam kalimat tersebut terdapat penggunaan pilihan kata (diksi) yang mubazir. Kata “biasanya” merupakan kata yang tidak perlu adanya karena sudah ada frasa “sebagaimana telah ditetapkan”. Kalimat tersebut akan menjadi efektif apabila diubah menjadi:

Sebagaimana telah ditetapkan, petugas itu melakukan pengawasan dua kali dalam seminggu. Atau Sebagaimana telah ditetapkan, pengawasan dilakukan dua kali dalam seminggu.
Kalimat (b) juga kurang efektif karena adanya kemubaziran kata serta kekurangtepatan pilihan kata (diksi). Penggunaan kata “segi” tampaknya tidak diperlukan lagi karena telah terwakili oleh adanya kata “aspek”. Selain itu, penggunaan kata “ialah” juga kurang tepat. Kata ialah digunakan untuk definisi. Kalimat tersebut sebaiknya berbunyi:

Aspek lain yang perlu dipertimbangkan adalah hubungan masyarakat.
Bagaimana dengan kalimat (c)? Kalimat (d), dan (e) merupakan kalimat yang berbelit-belit sehingga dapat mengaburkan makna. Kalimat (f) maknanya kabur akibat kesalahan penggunaan tanda baca. Bagaimana yang efektif?

SASTRA DAN KONFLIK

Tentang Sastra dan Konflik (2)
Potret Kekerasan Negara terhadap Rakyat dalam Cerita Pendek Mutakhir di Aceh

Pengantar
Teks sastra merupakan pencerminan realitas sosial yang terjadi dalam sebuah masyarakat. Melalui karya sastra pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang dialami oleh sebuah masyarakat yang pengarang sendiri berada di dalamnya. Begitulah antara lain asumsi dasar yang dikembangkan oleh pendekatan sosiologis, salah satu pendekatan yang lazim digunakan dalam pengkajian teks-teks kesastraan (Semi, 1993; dan Sikana, 1986). Malah, Sikana (1986:107) menyatakan bahwa pendekatan sosiologis (sosiologikal) ini melihat konfrontasi dan pertikaian yang berlaku dalam masyarakat sebagai sumber inspirasi penulis. Penulis bertugas mencerminkan atau menggambarkan tentang peristiwa yang terjadi (di dalam masyarakat tersebut). Dengan demikian, karya sastra dalam pendekatan ini dipandang sebagai medium penggambaran kondisi sosial yang terjadi pada suatu masyarakat pada suatu kurun waktu tertentu.
Tulisan ini mencoba menggunakan dasar-dasar pemikiran pendekatan sosiologis yang diuraikan di atas untuk memaparkan bagaimana refleksi kekerasan negara (baca: aparat negara) terhadap rakyat dengan berbagai eksesnya dalam cerita pendek (short story, cerpen) yang dipublikasikan melalui media
massa di Aceh. Tema ini menarik untuk dikaji karena hampir 90% karya sastra (prosa ataupun puisi) yang dipublikasikan di Aceh pada tahun-tahun terakhir ini bermuara pada persoalan tersebut. Di samping itu, tulisan ini diharapkan memberikan nuansa pemikiran alternatif pada peserta Dialog Utara VIII ini berkaitan dengan gejolak sosial yang terjadi di Aceh dalam tahun-tahun terakhir. Data tulisan ini didasarkan pada cerita-cerita yang dipublikasikan oleh harian Serambi Indonesia, Sebuah surat kabar yang diterbitkan di Aceh, dalam rentang waktu dua tahun terakhir (1998–1999).
Historical Background
Penerapan status “Daerah Operasi Militer” di Aceh (1989–1998) telah menimbulkan luka dan trauma yang amat mendalam bagi sebagian besar rakyat Aceh. Usaha pemerintah RI untuk meredam gejolak sosial yang berkepanjangan di Aceh melalui operasi tersebut ternyata harus dibayar mahal sekali. Data yang dikumpulkan oleh Al-Chaidar dkk. (1998:257) menunjukkan bahwa kasus tindak kekerasan dan orang hilang selama operasi tersebut berjumlah 1834 kasus. Tindak kekerasan ini cukup beragam, seperti penculikan, penganiayaan, pelecehan seksual, pemerkosaan, sampai penembakan di depan anggota keluarga. Tempat penyiksaan dan ladang pembantaian, seperti Rumoh Geudong di Teupin Raya, Pidie, Bukit Tengkorak dan Bukit Seuntang, di Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, menjadi saksi bisu berbagai peristiwa tersebut. Akhir 1998 status “Daerah Operasi Militer” untuk Daerah Istimewa Aceh dicabut. Pencabutan status tersebut ternyata menyisakan sejumlah persoalan lain dalam masyarakat Aceh. Cerpenis muda Aceh sebagai bagian dari warga masyarakat yang ikut serta merasakan, mendengar, membaca, dan mungkin menyaksikan secara langsung berbagai hal selama dan pasca-DOM mencoba merekam, mengimajinasikan, dan mengungkapkan kembali bagaimana kesewenang-wenangan itu terjadi dan bagaimana pula efek hal tersebut bagi aparat pemerintah, informan, dan rakyat kecil yang buta politik.

DOM dan Eksesnya dalam Cerpen Aceh Mutakhir
Kasus yang paling menonjol diangkat dalam cerpen mutakhir di Aceh adalah pembunuhan terhadap rakyat dengan tuduhan yang tidak jelas dan tanpa proses pengadilan resmi. Hal ini antara lain terungkap dalam cerpen Pada Suatu Malam, Pada Suatu Zaman, Farizal Sikumbang, Serambi Indonesia, 17 Januari 1999; Ruangan Maut, M. Rizwan Almadridi, Serambi Indonesia 3 Januari 1999; Desah dari Bukit Pembantaian, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 27 Desember 1998; Nyaklam, Naharuddin, Serambi Indonesia, 6 Desember 1998, dan Bayang-Bayang Mengejar, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 13 Desember 1998. Dalam cerpen Pada Suatu Malam, Pada Suatu Zaman diceritakan bagaimana Amran, seorang laki-laki paruh baya, mencoba kembali ke rumah orang tuanya untuk melepaskan kerinduan kepada ibu, isteri, dan dua anaknya yang masih kecil. Amran sudah tiga bulan meninggalkan desanya, bergabung dengan teman-temannya, para pejuang, di gunung. Dengan ragu-ragu ia mencoba mendekati rumah tempat ia dilahirkan. Ia khawatir kalau-kalau ada seseorang yang melihat kepulangannya dan melaporkan hal tersebut pada tentara. Ia tidak ingin rumah tempat ia dilahirkan mengalami nasib yang sama dengan rumahnya sendiri, dibakar oleh aparat. Ia juga tidak mau orang tua yang melahirkannya pun akan mengalami nasib yang sama dengan isteri dan anak-anaknya yang sudah tidak jelas di mana rimbanya. Setelah masuk ke rumah, Amran memeluk ibunya yang sudah tua, melepaskan kerinduan yang sudah lama menggumpal, dan memohon maaf karena sudah lama tidak menjenguknya. Dari pembicaraan dengan ibu inilah Amran mengetahui bahwa Korim, temannya telah tewas tertembak saat terjadi bentrokan dengan aparat pemerintah. Ia juga diberi tahu bahwa isterinya, Siti, sudah ditangkap oleh tentera dan saat ini sangat menderita di dalam penjara, sementara anaknya tidak diketahui di mana rimbanya. Amran marah mendengar penjelasan ibunya. Kemarahan itu semakin bertambah ketika sang ibu menceritakan bagaimana pemimpin negeri mulai murka sehingga mengirim ribuan tentara untuk menumpas mereka dengan cara yang amat keji. Cerita tersebut semakin memperkuat tekad Amran untuk kembali bergabung dengan teman-temannya, berjuang, untuk sebuah perjuangan yang tak akan pernah sia-sia. Saat malam telah larut Amran keluar dari rumah tersebut setelah mencium kedua tangan ibunya. Amran tidak menyadari bahwa tentara telah mengepung rumah ibunya itu setelah seseorang melaporkan kepulangan Amran itu kepada mereka. Tiba-tiba, di tengah terpaan angin malam yang semakin dingin, dan di depan mata ibunya sendiri, Amran jatuh bersimbah darah. Butiran peluru telah membuat Amran roboh dan menghadap Sang Khalik dengan sebuah keyakinan akan kebenaran jalan yang dipilihnya. Ibu Amran yang tidak menduga melihat kematian anaknya secara mengenaskan di depan matanya langsung pingsan tanpa mampu memberikan pertolongan pada anaknya. Gambaran kekerasan negara terhadap rakyat yang tak berdosa dalam versi lain diungkapkan dalam cerpen Ruangan Maut, M. Rizwan Almadridi, Serambi Indonesia 3 Januari 1999; dan Desah dari Bukit Pembantaian, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 27 Desember 1998; Dalam cerpen Ruangan Maut diceritakan bagaimana si aku sekali waktu berkunjung ke sebuah rumah yang pernah digunakan sebagai tempat penyiksaan dengan dipandu oleh seorang penduduk desa. Di tempat itu ia melihat bagaimana ceceran-ceceran darah kering masih menempel di lantai dan dinding. Ia juga melihat bekas-bekas tapak sepatu lars di setiap sudut dinding. Ia melihat sisa darah kental di dasar kotak besi ukuran dua kali satu meter. Ia juga melihat sebuah sumur tua yang airnya telah kehhitam-hitaman. Dari pemandu ia mendengar bagaimana rumah, kamar, kotak besi, dan sumur tua itu telah digunakan oleh aparat negara untuk menyiksa rakyatnya sehingga si aku hanya bisa diam membungkam sambil menyimpan sebuah dendam yang tak jelas untuk siapa. Selanjutnya, dalam cerpen Desah dari Bukit Pembantaian diceritakan bagaimana dialog yang terjadi antara malaikat dengan ruh penghuni Bukit Pembantaian. Cerita dimulai dengan penggambaran peristiwa yang dialami oleh tokoh aku (Nurdin) pada suatu malam. Ketika aku sedang bercengkerama dengan anak dan isterinya, pintu rumah mereka diketuk oleh seseorang. Ketika pintu dibuka, aku melihat seseorang berbaju loreng dengan wajah yang beringas. Sang tamu menghantam wajah tokoh aku, menjambak rambutnya, dan menyeret tubuhnya ke halaman rumah. Di halaman rumah itulah si aku diberitahukan bahwa ia bersalah karena telah melindungi, menerima, dan menjamu Usman, seseorang yang dikenal oleh si aku, pada suatu malam. Aku membela diri, tetapi pembelaan itu sia-sia saja. Penanya lalu menyuruh Sersan Parto, Sersan Gadang, dan Sersan Marga untuk mengurus si Aku. Ketiga sersan itu lalu menghajar si aku dengan berbagai kemudahan yang ada padanya hingga aku terkapar di tanah. Jeritan anak dan isteri si aku didiamkan oleh mereka dengan todongan senjata. Mereka lalu membawa si aku pergi dan tak pernah lagi kembali ke rumah. Ketika sampai di alam barzakh, si aku bertanya pada malaikat siapa sebenarnya yang disebut pemberontak, pengkhianat Pancasila, dan pelanggar UUD 1945. Penjelasan dari malaikat membuat aku dan rekan-rekannya lega karena mereka ternyata hanyalah korban kezaliman penguasa dan serdadu-serdadunya. Sisi lain kekerasan negara terhadap rakyat digambarkan dalam cerpen Nyaklam, Naharuddin, Serambi Indonesia, 6 Desember 1998 dan Bayang-Bayang Mengejar, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 13 Desember 1998. Dalam cerpen Nyaklam mencoba mengisahkan secara flashback bagaimana Nyaklam, seorang pemuda yang sebaya dengan tokoh aku, diadili oleh
massa, orang kampungnya sendiri, karena perilakunya yang tidak sesuai dengan perilaku anggota masyarakat lain secara umum. Nyaklam adalah teman sepermainan masa kecil si aku yang setelah tamat SMA terpaksa tinggal di desanya. Melalui surat-surat yang dikirimkan Nyaklam, aku mengetahui bahwa temannya, Nyaklam, telah bekerja sebagai informan, cuak, yang membantu tentara dalam proses penangkapan dan pembunuhan orang desa yang diduga pemberontak. Dengan penuh kebanggaan dan merasa diri pahlawan Nyaklam menceritakan perihal pekerjaannya itu pada si aku. Nyaklam bahkan mengajak si aku untuk bergabung dengannya bila si aku pulang ke kampung setelah kuliahnya selesai.
Ketika dominasi militer surut dan era reformasi terbuka, aku mendapat surat dari M. Yakob, temannya, yang meminta aku untuk pulang ke kampung karena penduduk kampung akan mengadakan pesta dengan Nyaklam. Dalam pesta itulah aku melihat bagaimana penduduk desanya: laki-laki, perempuan, anak-anak, bahkan teman akrab Nyaklam sendiri secara beramai-ramai menghakimi Nyaklam hingga ia mati di depan mata si aku. Aku hanya bisa diam seribu basa melihat perlakuan tersebut. Selanjutnya, dalam cerpen Bayang-Bayang Mengejar, Musmarwan menceritakan bagaimana Paijo, salah seorang anggota pasukan Baret Merah, dikejar-kejar oleh bayangan dirinya sendiri, dicaci, dan disumpali dengan berbagai kesewenang-wenangan yang pernah dilakukannya terhadap rakyat Aceh. Ia menembaki bayang-bayangnya dengan senjata M-16 yang ada pada dirinya, tetapi bayang-bayang tersebut terus mengejarnya sampai ke markasnya. Di markas Paijo menembaki tiga perwira yang sedang bertugas sehingga salah seorang di antara mereka mati di tempat. Dalam pelarian tersebut akhirnya Paijo sampai ke rumah sakit jiwa dan di tempat itu ia meraung-raung minta tolong. Hardikan dari pasien lain menyebabkan Paijo diam, menunduk, dan akhirnya diam tak begerak.
Pemilihan tema, tokoh, latar, dan peristiwa cerita dalam cerita-cerita di atas secara sepintas lalu terlihat faktual dan membumi. Tokoh Amran, ibu, Siti, dan seseorang dalam cerita Pada Suatu Malam, Pada Suatu Zaman merupakan realitas keseharian di bumi Aceh dalam sepuluh tahun terakhir. Amran hanyalah satu sosok di antara sekian ribu sosok orang Aceh yang terlanjur dicap sebagai pemberontak, anggota GPK, oleh penguasa. Pemberian cap tersebut tidak hanya berefek pada yang bersangkutan, tetapi juga pada ibu, isteri, anak-anak, dan harta benda mereka. Karena itu, seseorang yang sudah dicap pemberontak akan lari menyelamatkan diri ke gunung atau ke daerah lain (termasuk negara tetangga) dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di dada mereka. Hal seperti ini juga disinggung oleh Naharuddin dalam Nyaklam. Bila yang bersangkutan tidak dapat ditemukan, ibu, isteri, dan anak-anak mereka diancam, ditangkapi, dipaksa mengakui, diperlakukan secara tidak manusiawi, dan kalau perlu dibunuh secara biadab. Sebaliknya, bila yang bersangkutan ditemukan (dan biasanya berdasarkan informasi dari informan atau cuak) yang bersangkutan langsung dihabisi dengan berbagai modus operandi, termasuk menembak mati di depan ibu kandungnya.Itu sebabnya kaum ibu yang anaknya menjadi tertuduh tidak pernah merasa tenteram hidupnya. Mereka selalu dikejar bayang-bayang kematian yang tak jelas dari mana datangnya. Mereka juga harus siap menerima berbagai kemungkinan perlakuan lain dari aparat yang pada umumnya bukan orang Aceh [lihat, misalnya, tokoh Sersan Parto (Jawa), Sersan Gadang (Padang), dan Sersan Marga (Batak) dalam Desah dari Bukit Pembantaian, atau tokoh Paijo (Jawa) dalam Bayang-Bayang Mengejar]. Kesewenang-wenangan inilah yang melahirkan kebencian yang mendalam pada sebagian besar rakyat Aceh terhadap pemerintah, para serdadu, dan orang-orang yang membantu terjadinya kesewenang-wenangan tersebut. Hal itu ditambah lagi dengan berbagai bukti fisik berupa ceceran darah, sumur, kuburan massal, dan sebagainya yang dapat dilihat hingga hari ini. Kebencian akibat kesewenangan dan kebiadaban itu dapat dilihat pada sikap ibu Amran dalam Pada Suatu Malam, Pada Suatu Zaman atau pada sikap tokoh aku dalam cerita Ruangan Maut. Malah, dalam Nyaklam, orang desa (laki-laki dan perempuan, tua muda) secara bersama “berpesta”, menghakimi tokoh Nyaklam, pemuda Aceh, yang terlalu sombong dan bangga diri karena merasa telah membantu pemerintah dengan cara menjadi informan atau kaki tangan penguasa. Bagi masyarakat Aceh, Nyaklam adalah potret anak durhaka, anak yang rela membiarkan penduduk desanya dibunuh dan dikejar oleh aparat tanpa sebab yang jelas. Karenanya, orang desa tidak lagi menganggap Nyaklam sebagai bagian dari mereka. Nyaklam layak dibunuh untuk menjadi pelajaran bagi warga lainnya. Pada saat seperti ini, hubungan darah, suku, persaudaraan, atau pertemanan (frienship) tidak lagi menjadi pertimbangan untuk menyelamatkan seseorang dari kematian. Sebaliknya, orang-orang yang dianiaya dan mati secara tidak wajar selama diterapkan DOM di Aceh dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang tidak bersalah, orang yang mati syahid (syuhada), dan karenanya ditempatkan di Syurga Allah. Hal yang terakhir ini antara lain terungkap dalam cerita Bayang-Bayang Mengejar atau dialog antara ruh Nurdin dan kawan-kawan dengan malaikat dalam cerita Desah dari Bukit Pembantaian.
Penutup
Kesewenang-wenangan pemerintah dan aparatnya selama diberlakukan status DOM dan pasca-DOM di Daerah Istimewa Aceh ternyata cukup dominan dikembangkan menjadi tema cerpen oleh cerpenis muda Aceh dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Di mata para cerpenis, kesewenang-wenangan tersebut mempunyai implikasi lain terhadap perubahan pola pandang dan perilaku orang Aceh terhadap pemerintah, para serdadu, dan orang-orang lain yang erat hubungannya dengan pemerintah. Kesewenang-wenangan ternyata menyebabkan timbulnya keresahan, kebencian, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap orang-orang yang seharusnya melindungi mereka. Kesewenang-wenangan juga menyebabkan terjadinya perubahan pola pandang masyarakat Aceh dalam mengklasifikasikan mana kawan, mana lawan, mana pahlawan, dan mana pula bajingan. Hal ini barangkali merupakan salah satu faktor yang memicu tingginya eskalasi konflik dan gejolak sosial dalam masyarakat Aceh dalam tahun-tahun terakhir. Kekecewaan dan penderitaan ternyata tidak mungkin dipendam terlalu lama.
Ada saatnya semua hal itu dinyatakan secara eksplisit sehingga penguasa tahu ada langkah mereka yang tak benar pada masa yang lalu. Semoga kekecewaan dan penderitaan ini dapat kita rasakan bersama dalam kerangka persaudaraan bangsa Melayu, meskipun kita hidup di negeri yang berbeda. Semoga.


Rujukan:
Al-Chaidar, Sayed Mudhahar Ahmad, dan Yarmen Dinamika. 1998. Aceh Bersimbah Darah.
Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra.
Bandung: Angkasa.Sikana, Mana. 1986. Kritikan Sastera: Pendekatan dan Kaedah. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti SDN.BHD.
Cerita Pendek:Nyaklam, Naharuddin, SerambiIndonesia, 6 Desember 1998;Bayang-Bayang Mengejar, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 13 Des. 1998;Desah dari Bukit Pembantaian, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 27 Desember 1998Ruangan Maut, M. Rizwan Almadridi, Serambi
Indonesia 3 Januari 1999;Pada Suatu Malam, Pada Suatu Zaman, Farizal Sikumbang, Serambi
Indonesia, 17 Januari 1999.