Rabu, 20 April 2011

SASTRA DAN KONFLIK

Tentang Sastra dan Konflik (2)
Potret Kekerasan Negara terhadap Rakyat dalam Cerita Pendek Mutakhir di Aceh

Pengantar
Teks sastra merupakan pencerminan realitas sosial yang terjadi dalam sebuah masyarakat. Melalui karya sastra pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang dialami oleh sebuah masyarakat yang pengarang sendiri berada di dalamnya. Begitulah antara lain asumsi dasar yang dikembangkan oleh pendekatan sosiologis, salah satu pendekatan yang lazim digunakan dalam pengkajian teks-teks kesastraan (Semi, 1993; dan Sikana, 1986). Malah, Sikana (1986:107) menyatakan bahwa pendekatan sosiologis (sosiologikal) ini melihat konfrontasi dan pertikaian yang berlaku dalam masyarakat sebagai sumber inspirasi penulis. Penulis bertugas mencerminkan atau menggambarkan tentang peristiwa yang terjadi (di dalam masyarakat tersebut). Dengan demikian, karya sastra dalam pendekatan ini dipandang sebagai medium penggambaran kondisi sosial yang terjadi pada suatu masyarakat pada suatu kurun waktu tertentu.
Tulisan ini mencoba menggunakan dasar-dasar pemikiran pendekatan sosiologis yang diuraikan di atas untuk memaparkan bagaimana refleksi kekerasan negara (baca: aparat negara) terhadap rakyat dengan berbagai eksesnya dalam cerita pendek (short story, cerpen) yang dipublikasikan melalui media
massa di Aceh. Tema ini menarik untuk dikaji karena hampir 90% karya sastra (prosa ataupun puisi) yang dipublikasikan di Aceh pada tahun-tahun terakhir ini bermuara pada persoalan tersebut. Di samping itu, tulisan ini diharapkan memberikan nuansa pemikiran alternatif pada peserta Dialog Utara VIII ini berkaitan dengan gejolak sosial yang terjadi di Aceh dalam tahun-tahun terakhir. Data tulisan ini didasarkan pada cerita-cerita yang dipublikasikan oleh harian Serambi Indonesia, Sebuah surat kabar yang diterbitkan di Aceh, dalam rentang waktu dua tahun terakhir (1998–1999).
Historical Background
Penerapan status “Daerah Operasi Militer” di Aceh (1989–1998) telah menimbulkan luka dan trauma yang amat mendalam bagi sebagian besar rakyat Aceh. Usaha pemerintah RI untuk meredam gejolak sosial yang berkepanjangan di Aceh melalui operasi tersebut ternyata harus dibayar mahal sekali. Data yang dikumpulkan oleh Al-Chaidar dkk. (1998:257) menunjukkan bahwa kasus tindak kekerasan dan orang hilang selama operasi tersebut berjumlah 1834 kasus. Tindak kekerasan ini cukup beragam, seperti penculikan, penganiayaan, pelecehan seksual, pemerkosaan, sampai penembakan di depan anggota keluarga. Tempat penyiksaan dan ladang pembantaian, seperti Rumoh Geudong di Teupin Raya, Pidie, Bukit Tengkorak dan Bukit Seuntang, di Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, menjadi saksi bisu berbagai peristiwa tersebut. Akhir 1998 status “Daerah Operasi Militer” untuk Daerah Istimewa Aceh dicabut. Pencabutan status tersebut ternyata menyisakan sejumlah persoalan lain dalam masyarakat Aceh. Cerpenis muda Aceh sebagai bagian dari warga masyarakat yang ikut serta merasakan, mendengar, membaca, dan mungkin menyaksikan secara langsung berbagai hal selama dan pasca-DOM mencoba merekam, mengimajinasikan, dan mengungkapkan kembali bagaimana kesewenang-wenangan itu terjadi dan bagaimana pula efek hal tersebut bagi aparat pemerintah, informan, dan rakyat kecil yang buta politik.

DOM dan Eksesnya dalam Cerpen Aceh Mutakhir
Kasus yang paling menonjol diangkat dalam cerpen mutakhir di Aceh adalah pembunuhan terhadap rakyat dengan tuduhan yang tidak jelas dan tanpa proses pengadilan resmi. Hal ini antara lain terungkap dalam cerpen Pada Suatu Malam, Pada Suatu Zaman, Farizal Sikumbang, Serambi Indonesia, 17 Januari 1999; Ruangan Maut, M. Rizwan Almadridi, Serambi Indonesia 3 Januari 1999; Desah dari Bukit Pembantaian, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 27 Desember 1998; Nyaklam, Naharuddin, Serambi Indonesia, 6 Desember 1998, dan Bayang-Bayang Mengejar, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 13 Desember 1998. Dalam cerpen Pada Suatu Malam, Pada Suatu Zaman diceritakan bagaimana Amran, seorang laki-laki paruh baya, mencoba kembali ke rumah orang tuanya untuk melepaskan kerinduan kepada ibu, isteri, dan dua anaknya yang masih kecil. Amran sudah tiga bulan meninggalkan desanya, bergabung dengan teman-temannya, para pejuang, di gunung. Dengan ragu-ragu ia mencoba mendekati rumah tempat ia dilahirkan. Ia khawatir kalau-kalau ada seseorang yang melihat kepulangannya dan melaporkan hal tersebut pada tentara. Ia tidak ingin rumah tempat ia dilahirkan mengalami nasib yang sama dengan rumahnya sendiri, dibakar oleh aparat. Ia juga tidak mau orang tua yang melahirkannya pun akan mengalami nasib yang sama dengan isteri dan anak-anaknya yang sudah tidak jelas di mana rimbanya. Setelah masuk ke rumah, Amran memeluk ibunya yang sudah tua, melepaskan kerinduan yang sudah lama menggumpal, dan memohon maaf karena sudah lama tidak menjenguknya. Dari pembicaraan dengan ibu inilah Amran mengetahui bahwa Korim, temannya telah tewas tertembak saat terjadi bentrokan dengan aparat pemerintah. Ia juga diberi tahu bahwa isterinya, Siti, sudah ditangkap oleh tentera dan saat ini sangat menderita di dalam penjara, sementara anaknya tidak diketahui di mana rimbanya. Amran marah mendengar penjelasan ibunya. Kemarahan itu semakin bertambah ketika sang ibu menceritakan bagaimana pemimpin negeri mulai murka sehingga mengirim ribuan tentara untuk menumpas mereka dengan cara yang amat keji. Cerita tersebut semakin memperkuat tekad Amran untuk kembali bergabung dengan teman-temannya, berjuang, untuk sebuah perjuangan yang tak akan pernah sia-sia. Saat malam telah larut Amran keluar dari rumah tersebut setelah mencium kedua tangan ibunya. Amran tidak menyadari bahwa tentara telah mengepung rumah ibunya itu setelah seseorang melaporkan kepulangan Amran itu kepada mereka. Tiba-tiba, di tengah terpaan angin malam yang semakin dingin, dan di depan mata ibunya sendiri, Amran jatuh bersimbah darah. Butiran peluru telah membuat Amran roboh dan menghadap Sang Khalik dengan sebuah keyakinan akan kebenaran jalan yang dipilihnya. Ibu Amran yang tidak menduga melihat kematian anaknya secara mengenaskan di depan matanya langsung pingsan tanpa mampu memberikan pertolongan pada anaknya. Gambaran kekerasan negara terhadap rakyat yang tak berdosa dalam versi lain diungkapkan dalam cerpen Ruangan Maut, M. Rizwan Almadridi, Serambi Indonesia 3 Januari 1999; dan Desah dari Bukit Pembantaian, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 27 Desember 1998; Dalam cerpen Ruangan Maut diceritakan bagaimana si aku sekali waktu berkunjung ke sebuah rumah yang pernah digunakan sebagai tempat penyiksaan dengan dipandu oleh seorang penduduk desa. Di tempat itu ia melihat bagaimana ceceran-ceceran darah kering masih menempel di lantai dan dinding. Ia juga melihat bekas-bekas tapak sepatu lars di setiap sudut dinding. Ia melihat sisa darah kental di dasar kotak besi ukuran dua kali satu meter. Ia juga melihat sebuah sumur tua yang airnya telah kehhitam-hitaman. Dari pemandu ia mendengar bagaimana rumah, kamar, kotak besi, dan sumur tua itu telah digunakan oleh aparat negara untuk menyiksa rakyatnya sehingga si aku hanya bisa diam membungkam sambil menyimpan sebuah dendam yang tak jelas untuk siapa. Selanjutnya, dalam cerpen Desah dari Bukit Pembantaian diceritakan bagaimana dialog yang terjadi antara malaikat dengan ruh penghuni Bukit Pembantaian. Cerita dimulai dengan penggambaran peristiwa yang dialami oleh tokoh aku (Nurdin) pada suatu malam. Ketika aku sedang bercengkerama dengan anak dan isterinya, pintu rumah mereka diketuk oleh seseorang. Ketika pintu dibuka, aku melihat seseorang berbaju loreng dengan wajah yang beringas. Sang tamu menghantam wajah tokoh aku, menjambak rambutnya, dan menyeret tubuhnya ke halaman rumah. Di halaman rumah itulah si aku diberitahukan bahwa ia bersalah karena telah melindungi, menerima, dan menjamu Usman, seseorang yang dikenal oleh si aku, pada suatu malam. Aku membela diri, tetapi pembelaan itu sia-sia saja. Penanya lalu menyuruh Sersan Parto, Sersan Gadang, dan Sersan Marga untuk mengurus si Aku. Ketiga sersan itu lalu menghajar si aku dengan berbagai kemudahan yang ada padanya hingga aku terkapar di tanah. Jeritan anak dan isteri si aku didiamkan oleh mereka dengan todongan senjata. Mereka lalu membawa si aku pergi dan tak pernah lagi kembali ke rumah. Ketika sampai di alam barzakh, si aku bertanya pada malaikat siapa sebenarnya yang disebut pemberontak, pengkhianat Pancasila, dan pelanggar UUD 1945. Penjelasan dari malaikat membuat aku dan rekan-rekannya lega karena mereka ternyata hanyalah korban kezaliman penguasa dan serdadu-serdadunya. Sisi lain kekerasan negara terhadap rakyat digambarkan dalam cerpen Nyaklam, Naharuddin, Serambi Indonesia, 6 Desember 1998 dan Bayang-Bayang Mengejar, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 13 Desember 1998. Dalam cerpen Nyaklam mencoba mengisahkan secara flashback bagaimana Nyaklam, seorang pemuda yang sebaya dengan tokoh aku, diadili oleh
massa, orang kampungnya sendiri, karena perilakunya yang tidak sesuai dengan perilaku anggota masyarakat lain secara umum. Nyaklam adalah teman sepermainan masa kecil si aku yang setelah tamat SMA terpaksa tinggal di desanya. Melalui surat-surat yang dikirimkan Nyaklam, aku mengetahui bahwa temannya, Nyaklam, telah bekerja sebagai informan, cuak, yang membantu tentara dalam proses penangkapan dan pembunuhan orang desa yang diduga pemberontak. Dengan penuh kebanggaan dan merasa diri pahlawan Nyaklam menceritakan perihal pekerjaannya itu pada si aku. Nyaklam bahkan mengajak si aku untuk bergabung dengannya bila si aku pulang ke kampung setelah kuliahnya selesai.
Ketika dominasi militer surut dan era reformasi terbuka, aku mendapat surat dari M. Yakob, temannya, yang meminta aku untuk pulang ke kampung karena penduduk kampung akan mengadakan pesta dengan Nyaklam. Dalam pesta itulah aku melihat bagaimana penduduk desanya: laki-laki, perempuan, anak-anak, bahkan teman akrab Nyaklam sendiri secara beramai-ramai menghakimi Nyaklam hingga ia mati di depan mata si aku. Aku hanya bisa diam seribu basa melihat perlakuan tersebut. Selanjutnya, dalam cerpen Bayang-Bayang Mengejar, Musmarwan menceritakan bagaimana Paijo, salah seorang anggota pasukan Baret Merah, dikejar-kejar oleh bayangan dirinya sendiri, dicaci, dan disumpali dengan berbagai kesewenang-wenangan yang pernah dilakukannya terhadap rakyat Aceh. Ia menembaki bayang-bayangnya dengan senjata M-16 yang ada pada dirinya, tetapi bayang-bayang tersebut terus mengejarnya sampai ke markasnya. Di markas Paijo menembaki tiga perwira yang sedang bertugas sehingga salah seorang di antara mereka mati di tempat. Dalam pelarian tersebut akhirnya Paijo sampai ke rumah sakit jiwa dan di tempat itu ia meraung-raung minta tolong. Hardikan dari pasien lain menyebabkan Paijo diam, menunduk, dan akhirnya diam tak begerak.
Pemilihan tema, tokoh, latar, dan peristiwa cerita dalam cerita-cerita di atas secara sepintas lalu terlihat faktual dan membumi. Tokoh Amran, ibu, Siti, dan seseorang dalam cerita Pada Suatu Malam, Pada Suatu Zaman merupakan realitas keseharian di bumi Aceh dalam sepuluh tahun terakhir. Amran hanyalah satu sosok di antara sekian ribu sosok orang Aceh yang terlanjur dicap sebagai pemberontak, anggota GPK, oleh penguasa. Pemberian cap tersebut tidak hanya berefek pada yang bersangkutan, tetapi juga pada ibu, isteri, anak-anak, dan harta benda mereka. Karena itu, seseorang yang sudah dicap pemberontak akan lari menyelamatkan diri ke gunung atau ke daerah lain (termasuk negara tetangga) dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di dada mereka. Hal seperti ini juga disinggung oleh Naharuddin dalam Nyaklam. Bila yang bersangkutan tidak dapat ditemukan, ibu, isteri, dan anak-anak mereka diancam, ditangkapi, dipaksa mengakui, diperlakukan secara tidak manusiawi, dan kalau perlu dibunuh secara biadab. Sebaliknya, bila yang bersangkutan ditemukan (dan biasanya berdasarkan informasi dari informan atau cuak) yang bersangkutan langsung dihabisi dengan berbagai modus operandi, termasuk menembak mati di depan ibu kandungnya.Itu sebabnya kaum ibu yang anaknya menjadi tertuduh tidak pernah merasa tenteram hidupnya. Mereka selalu dikejar bayang-bayang kematian yang tak jelas dari mana datangnya. Mereka juga harus siap menerima berbagai kemungkinan perlakuan lain dari aparat yang pada umumnya bukan orang Aceh [lihat, misalnya, tokoh Sersan Parto (Jawa), Sersan Gadang (Padang), dan Sersan Marga (Batak) dalam Desah dari Bukit Pembantaian, atau tokoh Paijo (Jawa) dalam Bayang-Bayang Mengejar]. Kesewenang-wenangan inilah yang melahirkan kebencian yang mendalam pada sebagian besar rakyat Aceh terhadap pemerintah, para serdadu, dan orang-orang yang membantu terjadinya kesewenang-wenangan tersebut. Hal itu ditambah lagi dengan berbagai bukti fisik berupa ceceran darah, sumur, kuburan massal, dan sebagainya yang dapat dilihat hingga hari ini. Kebencian akibat kesewenangan dan kebiadaban itu dapat dilihat pada sikap ibu Amran dalam Pada Suatu Malam, Pada Suatu Zaman atau pada sikap tokoh aku dalam cerita Ruangan Maut. Malah, dalam Nyaklam, orang desa (laki-laki dan perempuan, tua muda) secara bersama “berpesta”, menghakimi tokoh Nyaklam, pemuda Aceh, yang terlalu sombong dan bangga diri karena merasa telah membantu pemerintah dengan cara menjadi informan atau kaki tangan penguasa. Bagi masyarakat Aceh, Nyaklam adalah potret anak durhaka, anak yang rela membiarkan penduduk desanya dibunuh dan dikejar oleh aparat tanpa sebab yang jelas. Karenanya, orang desa tidak lagi menganggap Nyaklam sebagai bagian dari mereka. Nyaklam layak dibunuh untuk menjadi pelajaran bagi warga lainnya. Pada saat seperti ini, hubungan darah, suku, persaudaraan, atau pertemanan (frienship) tidak lagi menjadi pertimbangan untuk menyelamatkan seseorang dari kematian. Sebaliknya, orang-orang yang dianiaya dan mati secara tidak wajar selama diterapkan DOM di Aceh dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang tidak bersalah, orang yang mati syahid (syuhada), dan karenanya ditempatkan di Syurga Allah. Hal yang terakhir ini antara lain terungkap dalam cerita Bayang-Bayang Mengejar atau dialog antara ruh Nurdin dan kawan-kawan dengan malaikat dalam cerita Desah dari Bukit Pembantaian.
Penutup
Kesewenang-wenangan pemerintah dan aparatnya selama diberlakukan status DOM dan pasca-DOM di Daerah Istimewa Aceh ternyata cukup dominan dikembangkan menjadi tema cerpen oleh cerpenis muda Aceh dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Di mata para cerpenis, kesewenang-wenangan tersebut mempunyai implikasi lain terhadap perubahan pola pandang dan perilaku orang Aceh terhadap pemerintah, para serdadu, dan orang-orang lain yang erat hubungannya dengan pemerintah. Kesewenang-wenangan ternyata menyebabkan timbulnya keresahan, kebencian, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap orang-orang yang seharusnya melindungi mereka. Kesewenang-wenangan juga menyebabkan terjadinya perubahan pola pandang masyarakat Aceh dalam mengklasifikasikan mana kawan, mana lawan, mana pahlawan, dan mana pula bajingan. Hal ini barangkali merupakan salah satu faktor yang memicu tingginya eskalasi konflik dan gejolak sosial dalam masyarakat Aceh dalam tahun-tahun terakhir. Kekecewaan dan penderitaan ternyata tidak mungkin dipendam terlalu lama.
Ada saatnya semua hal itu dinyatakan secara eksplisit sehingga penguasa tahu ada langkah mereka yang tak benar pada masa yang lalu. Semoga kekecewaan dan penderitaan ini dapat kita rasakan bersama dalam kerangka persaudaraan bangsa Melayu, meskipun kita hidup di negeri yang berbeda. Semoga.


Rujukan:
Al-Chaidar, Sayed Mudhahar Ahmad, dan Yarmen Dinamika. 1998. Aceh Bersimbah Darah.
Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra.
Bandung: Angkasa.Sikana, Mana. 1986. Kritikan Sastera: Pendekatan dan Kaedah. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti SDN.BHD.
Cerita Pendek:Nyaklam, Naharuddin, SerambiIndonesia, 6 Desember 1998;Bayang-Bayang Mengejar, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 13 Des. 1998;Desah dari Bukit Pembantaian, Musmarwan Abdullah, Serambi Indonesia, 27 Desember 1998Ruangan Maut, M. Rizwan Almadridi, Serambi
Indonesia 3 Januari 1999;Pada Suatu Malam, Pada Suatu Zaman, Farizal Sikumbang, Serambi
Indonesia, 17 Januari 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar